The problem with pretty privilege ranges from a successful career to justifying murder.
Gak percaya? Keep reading dan lihat bagaimana Pretty Privilege bisa diperbaiki lewat materi kita sebelumnya, Fandom
Pretty Privilege 101
Intinya, pretty privilege ini keuntungan yang dimiliki karena dianggap menarik secara fisik. Pretty privilege sendiri mempengaruhi banyak aspek kehidupan seperti:
- Interkaksi sosial
- Karir
- Rasa percaya diri
- Persepsi orang lain
- Pengaruh atau wibawa
Meski pretty privilege ini fokusnya ke karakteristik fisik, ide tentang apa yang dianggap menarik juga nyambung sama persepsi tentang kelas, kepribadian, pendidikan, sampai umur dan berat badan.
Riset yang Nunjukin kalo ‘Cakep’ bisa ‘Menang Banyak’
Dilansir dari buku “Beauty Pays: Why Attractive People Are Mores Successful” karya ekonom Daniel Hamermesh, beautiful people mendapatkan gaji yang lebih tinggi dibandingkan orang-orang yang tampangnya biasa aja.
Menurut risetnya doi, karyawan yang cakep cenderung membawa pemasukan lebih banyak ke perusahaan. Makanya, mereka akan dianggap lebih suskes.
Forbes (2019) juga mengatakan orang yang cakepnya di atas rata-rata menerima gaji 10%-15% lebih tinggi. Forbes juga bilang kandidat yang berpenampilan menarik bakal dapat kesempatan dipekerjakan, diwawancarai, atau dipromosikan lebih tinggi.
Kok Bisa Gitu sih?

Kecenderungan kita mendahulukan beautiful people itu nggak sepenuhnya salah kita. Ini salahnya biologi dan psikologi.
Menurut Judy Ho, seorang Neuropsikolog klinis dan forensik yang berbasis di California, pretty privilege memiliki tujuan evolusi manusia. “Semakin simetris wajahnya, secara konvensional akan semakin menarik. Wajah yang simetris juga mengindikasikan gen yang kuat dan sehat,” kata Judy Ho ke VICE.
Menurut Daniel Yarosh, pakar perawatan kulit dan dermatologi, karakteristik fisik dan persepi seseorang terhadap orang lain berbasis pada tekanan seleksi alam untuk mengoptimalkan keberhasilan reproduksi.
Penelitian membuktikan kecenderungan kita untuk memandang fisik terprogram pada tahap awal evolusi. Saking awalnya, bayi yang baru enam bulan aja akan menatap lebih lama pada wajah individu yang menarik daripada yang tidak…..
Yang Bikin Bahaya

Ketika pretty privilege jadi kriteria kesuskesan karir seseorang, rasa ‘nggak adil’ wajar-wajar aja diutarakan. Cuma, nggak sebatas itu aja lho hidup orang-orang cakep ini ‘dipermudah’.
Menurut para psikolog, prettty privilege ini menimbulkan ‘Halo Effect’. Artinya, jika ada satu sifat baik dalam diri seseorang, kita akan terus mengasosiasikannya dengan sifat baik lainnya.
Inilah kenapa kita berasumsi jika seseoarang menarik secara fisik (satu sifat baik), kita juga akan menilainya sebagai individu yang pintar, lucu, berbakat, dan jujur.
Asumsi seperti ini juga yang mendorong orang-orang yang ‘cakep’ bisa memanfaatkan penampilan mereka secara positif (misal, karir atau kepercayaan diri). Maklum aja, abisnya dari kecil sudah terbiasa menerika perhatian positif karena diperlakukan sepsial…
Makanya, orang yang mengalami “glow up”, sadar akan batasan gimana mereka diperlakukan dulu versus sekarang.
Meski pretty privilege bisa dimanfaatkan secara positif, nggak jarang beberapa orang ‘cakep’ merasa mereka berhak atas hak istimewa ini. Mereka cenderung menggunakannya untuk kepentingan diri sendiri dan gak jarang, berujung ke tindak kejahatan.
Pretty Privilege Goes to Extreme: Serial Killer Fandom

Seperti yang kita tau, genre ‘True Crime’ lagi booming abis. Genre ini jadi tambang emas baru bagi Hollywood. Studi oleh Parrot Analytics menemukan True Crime menjadi topik dokumenter paling laku pada 2021.
Selain film, industri podcast juga diuntungkan. Hasil survei tahun 2020 menunjukkan ‘True Crime’ menjadi genre paling laris nomor tiga untuk pendengar podcast di Spotify atau Apple Music.
Sebenarnya, daya tarik ke ‘True Crime’ bukanlah hal baru. Yang bikin beda, dulu permberitaan soal kriminal jangkauannya tidak seluas sekarang. Apalagi, dengan adanya sosial media, batasan antara konsumen dan produsen jadi semakin menipis.
Gak heran, fandom tentang serial killers terbentuk. Beberapa ‘penonton’ menunjukkan ketertarikan untuk ‘mengenal lebih jauh’ tentang sosok pembunuh dan mengglamorisasinya.
Kenapa? Karena para pembunuh ini dianggap sebagai selebriti.
Ketertarikan ke pembunuh berantai ini balik lagi ke ‘Halo Effect’ di mana satu nilai positif (ganteng) bikin kita otomatis ‘ngebela’ kalo orang cakep berbuat salah. Menurut Dr.Hamilton, kita memang lebih gampang percaya sama orang cakep karena otak kita secara konstan perlu membuat penilaian cepat.
Menurur para ahli, para fans ini tertarik sama pembunuh berantai karena ingin memahami kenapa mereka bisa melakukan tindakan keji ini. Kalo katanya Scott Bonn, kriminolog, sosok seperti Bundy punya ‘daya tarik’ (alias ganteng) yang mungkin nggak dimiliki pembunuh lainnya.
“Ketika bisa memahami, ini bukan lagi sebuah kengerian yang tidak bisa dijelaskan. Jadinya, akan sedikit kurang menakutkan,” jelas Bonn kepada Daiily News.
Bayangin seserem apa kombinasi pretty privilege ke para serial killers. Bahkan, seorang kriminolog, Dr.Melissa Hamilton, sampai bilang, “Often, it might be more about being more willing to forgive handsome criminals than ugly ones.”
Hollywood juga memperburuk ini dengan dengan menggambarkan pembunuh berantai sebagai ‘misunderstood villain’…
Misalnya? Serial Netflix berjudul “Dahmer – Monster: The Jeffrey Dahmer Story”. Series ini membuat keluarga para korban mengalami kembali kengerian tragedi kehilangan keluarganya…..
Netflix Jeffrey Dahmer’s victim’s sister and the real Rita in 1992 #jeffreydahmer #serialkillers #truecrime #truecrimecommunity pic.twitter.com/t8fZe1S2oT
— Carol DaRonch (@CarolDaRonch) September 21, 2022
Byangin, adegan viral Rita Isbell, salah satu kelaurga korban Dahmer, dilakonkan kembali tanpa izin ke pihak keluarga!
“Netflix hanya ingin menghasilkan uang dari tragedi ini. Saya tidak menonton seluruh series ini. Saya tidak perlu menotonnya, saya mengalaminya. Saya tahu persis apa yang terjadi,” kata Rita Isbell kepada insider.
Hal yang sama juga terjadi ke serial “Extremely Wicked, Shockingly Evil and Vile” di mana Efron memerankan Ted Bundy sebagai sosok yang karismatik.
Meski Netflix sempat bikin komentar, toh mereka nggak berhenti terus menampilkan sosok pembunuh dengan menarik. Nggak percaya? Tonton aja serial You yang diperankan Penn Badgley!
Berikut contoh fans mengkhawatirkan yang tersebar di berbagai media sosial…
@santanaleeman6 I can’t be the only one #tedbundy #jeffreydahmer #serialkiller #funny #jokes #fyp #foryoupage #mamaiminlovewithacriminal ♬ Criminal – Britney Spears
@.jeff4dahmerr♬ Untrust Us – Crystal Castles
Contoh lain ke-thirsty-an saat itu…..
Jika contoh thirsty di atas terlihat rada ‘bercanda’, salah satu fansnya Ted Bundy pernah bilang, “Dia sadis dan kejahatannya brutal, tapi menurut saya ada banyak hal secara psikologis yang membuatnya melakukan hal-hal itu … Saya pikir saya bisa membantunya.”
Just FYI, Ted Bundy mengaku telah membunuh sekitar 30 wanita, namun para ahli percaya dia sudah membunuh lebih dari 100 korban. Kalo Jeffrey Dahmer, dia telah membunuh 17 pria.
Momen halu bisa menyelamatkan pembunuh ini juga berhubungan sama yang namanya parasocial relationship. Saat terjadi, fokus fans akan mudah bergeser dari kejahatan keji ke karisma yang diberikan aktor ataupun pembunuh berantai yang asli.
Sisi halu ini juga ‘rada’ diperburuk sama insting primitf kita sebagai manusia. Menurut Dr.Hamilton, pria yang kejam menunjukkan kemampuan untuk menafkahi keluarga.
So, apakah sejak awal ada niatan dari media seperti Netflix untuk menglorifikasi para pembunuh bayaran itu dengan memanfaatkan pretty privilege? Belum tentu, tapi tak berlebihan pretty privilege telah diutilisasi dan dikapitalisasi dengan sukses, hingga terbentuk fandom, baik disengaja ataupun tidak.
What Now
Thankfully, dengan media sosial, ada beberapa hal yang bisa diperbaiki dengan glamorisasi ini. Fandom sebagai bentuk participatory culture tidak hanya bersifat sebagai wadah menikmati karya, tapi bisa juga wadah menyadarkan publik (being woke)
Tak bisa dimungkiri, ada sensai atau ‘thrill’ yang ditawarkan genre ‘True Crime’, apalagi jika dikombinasikan dengan elemen Pretty Privilege. Akibatnya, fans dengan sukarela membuat konten-konten kreatif. Hal ini tidak akan terjadi tanpa adanya ikatan emosional.
Di Indonesia, sensasi seperti ini sering muncul lewat genre horror. Misalnya saja kisah ‘KKN Di Desa Penari’ yang muncul berkat user-generated film (dibuat oleh warganet) yang kemudian mendorong fenomena unik: sebelum film dibuat, sudah memiliki pangsa pasar sendiri!
Ingin tahu lebih lanjut tentang faktor lain yang mendukung adanya ‘fandom’ dan sejauh apa mereka mendorong industri perfilman Indonesia? Stay tuned untuk riset UMN Consulting!