November nanti, the tributes are back buat menyambut prequel The Hunger Games (THG) yang judulnya “The Ballad of Songbirds and Snakes” alias TBSS. The fans alias the tributes auto gak sabar menyambut kembali Panem ke layar kaca.
Meski THG terakhir rilis film 2015 lalu (Mockingjay part 2), antusiasme para fans nggak luntur. Kesetiaan ini gak lain karena fans mengakui The Hunger Games memang sebagus itu! THG series sendiri termasuk salah satu contoh sukses Young Adult Literature yang dibuat menjadi film. Secara global, novel trilogi THG berhasil terjual sebanyak 100 juta eksemplar.
Ketika dijadikan film, THG Universe berhasil ngeraup U$2,9 billion alias IDR 43,6 Triliun (kurs IDR 14,715). Bahkan, di tahun 2013, The Hunger Games: Catching Fire jadi urutan ke-5 Film dengan Penghasilan Tertinggi sebesar US$865 juta (IDR 12,7 Triliun).
Cekidot analisis (fangirling) kenapa THG bisa sukses banget (obsessed mode on).
Timing
Ngutip jawabannya Moira Young (penulis Blood Red Road), the age of the fairy tale is not dead and people of every group want to escape into the fantasy genre.
Masih ingat dengan masa-masa gemar membaca dikatain ‘kutu buku’? Kalo dulu dikucilkan, sekarang Geek Culture ini justru dianggap cool.
Salah stau penyebabnya, tentu saja gak jauh-jauh dari booming-nya Children Literature, The Boy Who Lived alias Harry Potter (HP).
Kenapa Harry Potter dibawa-bawa? Begini Bizmates.
Harry Potter series membawa dampak cihuy abis ke industri penerbitan. Bayangin aja, buku-bukunya udah terjual setidaknya 500 juta eksemplar di seluruh dunia. VOX bahkan menyebut HP sebagai bonafide phenomenon karena laku keras di masa ketika buku untuk anak-anak tidak menguntungkan (re: ga bakal laku).
Kenapa? Karena anak-anak dianggap nggak mungkin kuat baca buku setebel serial Harry Potter. Siapa sangka, prediksi JK Rowling tentang Harry Potter menjadi kenyataan.
There won’t be a child in our world who doesn’t know his name
Selain children literature, hal tersebut juga berimbas ke young adult (YA) literature yang ditujukan untuk anak berusia 10-18 tahun. Berkat Harry Potter yang nunjukkin ‘baca buku dan suka sama filmnya itu keren’’, buku untuk anak-anak berubah jadi major cultural force.
Dampaknya, studio film Hollywood auto alert untuk terus mencari ‘the next Harry Potter Franchise’.
Pada 2006, YA lit terjual sebanyak 981,000. Di 2012, baru bulan Mei, YA lit sudah terjual 2,4 juta eksemplar. Dalam 6 tahun, penjualan buku young adult literature melonjak sampai 150%.
Daily mail menyebutkan, lonjakan ini terjadi karena boomingnya Twilight hingga THG. Hal ini berhubungan lagi sama HP Franchise. Pasalnya, bukan cuma anak-anak dan remaja yang ikut beli, orang dewasa juga ikut ambil bagian.
Artinya, remaja di atas 18 tahun merasa ‘nyaman’ membaca karya yang secara umur, tidak ditujukkan untuk kelompok umur mereka. (p.s, YA Lit ini populer banget di kalangan umur 20-50 tahun!).
“Sekarang, jika anda terlihat sedang membaca buku anak-anak, ini bukanlah hal memalukan. Setiap penulis harus berterima kasih kepada JK Rowling untuk ini,” kata GP Taylor, penulis serial Mariah Mundi (yang juga bestseller).
Balik lagi ke THG, BBC News bahkan menobatkan trilogi ini ke dalam daftar 100 novel yang telah membentuk dunia selama 300 tahun terkahir pada 2019.
Enough about THG as books, timing-nya sebagai film franchise juga muncul di saat yang cihuy.
Berikut timing kilat yang Bizmates kudu tahu saat film The Hunger Games tayang pada 2012:
- Harry Potter Franchise yang pertama kali tayang di 2001, baru aja tamat di 2011
- Selama Harry Potter berlangsung, muncul The Chronicles of Narnia
- Di 2008, Twilight tayang di Cinema dan muncul deh fenomena romansa genre paranormal ketika vampir dan manusia serigala rebutan cewek SMA (Kamu Tim Edward atau Tim Jacob?)
- Dua film terkahir Twilight tayang pada 2011 dan 2012
Karena fenomena fangirling or fanboying film berbasis novel lagi hits abis, orang-orang jadi terus mencari ‘what’s the next big thing?’
Bener aja, setelah THG tayang dan setting tema ‘teenage dystopia’, karya-karya lain juga mulai menjadi perhatian. Ingat masa-masa the Giver, Maze Runner, Ender’s Game, dan Divergent?
Meski film berbasis novel dengan tema distopia banyak, gak semuanya bisa sesukses THG. Misalnya aja, Divergent yang bahkan nggak dibuat film terakhirnya (Ascendant) atau Percy Jackson yang di-cancel gara-gara filmnya ga respect sama cerita asilinya (before y’all coming at us, great actors, terrible scripts).
Unique Universe
Kalo disederhanakan, THG ini ngebahas soal 24 anak-anak yang dipaksa pemerintah untuk bertarung sampai titik darah penghabisan di arena tiap tahun. Tujuannya? Untuk nunnjukkin pemerintahlah yang paling berkuasa dan jadi bahan hiburan para petinggi (dijadiin reality show!).
Suksesnya THG murninya gak jauh dari kemampuan Suzanne Collins menciptakan dunia distopia. Collins lihai banget menjabarkan dunia yang sangat suram dan penuh penindasan tanpa terlalu banyak merincikan kekerasan fisik.
Kerennya lagi, Collins membuat dunia di mana laki-laki dan perempuan ini setara. Lewat THG, Collins menunjukkan ketika anak-anak berusa 12-18 tahun dilempar ke arena, gender nggak ada maknanya. Mereka semua menjadi sosok ‘menakutkan’ dan setiap orang patut diperhitungkan demi bertahan hidup.
Kalo katanya VOX, karakter-karakter perempuan yang harus berpatisipasi sama Hunger Games ini adalah pilar kakuatan, simbol harapan, independen, dan mereka tidak sempurna. Ketidaksempurnaan ini justru jadi daya tarik sendiri.
Misalnya, Katniss Everdeen. Doi independen, jago bersiasat, insting bertahan hidup kuat, dan dia cuma mau nyelametin adiknya (Prim). Dia gak spesial kayak Harry Potter. Datang dari distrik termiskin. Dia gak judes dan nethink abis sama orang lain.
Campuran sebagai kakak yang baik dan karakter yang tidak sempurna ini jadi daya tariknya. She feels like a real human being with her own complexity. Selain itu, ada juga karakter Johanna Mason yang berhasil menang Hunger Games ke-71 karena pura-pura lemah eh taunya jago main kapak.
THG ini membawa pengaruh besar ke tren ‘cerita’ saat itu. Ketika masih banyak film yang menggambarkan perempuan sebagai damsel in distress yang diselamatkan Prince Charming, ada juga yang mulai memunculkan karakter seperti Katniss.
Kesuskesan THG juga sedikit banyak mengubah cara berpikir para eksekutif film, yaitu female lead hero nggak akan ada yang mau nonton. Buktinya, franchise THG membuat nama Jennifer Lawrence melejit.
The Fans
FYI, dedikasi fans yang secara sukarela meluangkan waktu, uang, dan air mata (cie elah) terhadap suatu karya menjadi bukti adanya Participatory Culture lho.
Secara simpel, participatory culture terjadi ketika fans nggak cuma bergerak sebagai konsumen, tapi juga produsen media kreatif. Salah satu contoh bekennya adalah fan culture atau fandom.
Dari sini, fans menjadi pencipta beberapa bentuk media kreatif. Bentuknya juga macam-macam: fan fiction, fan art, fan videos, cosplay, text post, meme atau membuat lagu.
Menurut Bizmates, apakah participatory culture ini pernah terjadi di dunia perfilman Indonesia? Stay tuned for UMN Consulting’s upcoming report on Peran Gen Z dalam Pefilman di Indonesia ya!
Lanjuy, meski THG adalah karya fiksi, penggunaan tema tirani dan kesenjangan ekonomi memberikan keterikatan yang cukup nyata bagi beberapa negara. Ini mendorong particpatory culture yang luar biasa.
Misalnya, penggunaan three finger salute. Dalam bukunya, Collins menggunakan simbol ini sebagai gestur berterima kasih, rasa hormat, atau mengucapkan selamat tinggal kepada seseorang yang kita cintai.

Simbol ini muncul pertama kali ketika Katniss (16) mengajukan diri menggantikan Prim (12) sebagai peserta Hunger Games. Tanpa diduga, warga Distrik 12 (daerah termiskin, bekerja sebagai penambang, selalu ditindas, selalu kelaparan, dan hidup keras), menunjukkan tanda hormatnya dengan simbol ini.
Bagusnya, simbol ini juga digunakan di dunia nyata sebagai bentuk perlawanan ke pemerintah yang otoriter serta ketidaksetaraan sosial dan ekonomi di Thailand (penggunaanya sampai dilarang junta), Hong Kong, dan Myanmar.

“Simbol itu menjadi bahasa universal dan melambangkan sikap revolusioner rakyat. Kami ingin memiliki kebebasan dan demokrasi,” kata Nathan Law, leader pro-demokrasi dari Hong Kong kepada CBS News.
Kesimpulannya….
Suksesnya Trilogi The Hunger Games ini gak lepas dari timing booming-nya Young Adult Literature (dan jasa besar Series Harry Potter and its fandom yang makes it cool being a geek!), unique universe ketika perempuan dan laki-laki dianggap setara (which is super appealing karena belum terjadi di dunia nyata), dan tentunya partisipasi fans, dari buku, ke layar kaca, sampai aksi nyata. Nah, pertanyaannya, how to build participatory culture untuk skena pop culture? Stay tuned ke riset dari kita ya.